Lembayung Senja Kerinduan terhadap masa lalu membawaku menelusuri tempat dan jalan-jalan yang pernah kutempuh pada masa kecil. Hingga sampailah aku di sini, pada dermaga ini, tempatku bermain dan tertawa-tawa bersama teman sebaya, Lembayung Senja. Di dermaga ini Lembayung Senja sering berlatih menari, aku melukis kapal-kapal mewah milik orang kaya yang sedang bersandar. Atau melukis laut, burung-burung camar, matahari senja, dan juga langit senja. Di dermaga ini pula kami sering melamunkan masa depan, yang dengan sangat tidak sabar ingin kami jelang bersama. Kala malam mulai membayang, kami baru beranjak pulang meninggalkan dermaga, untuk kembali lagi ke sana keesokan hari. Lembayung Senja adalah gadis berkulit putih, dengan rambut hitam panjang terurai bagai air terjun, dan paras teramat cantik. Banyak laki-laki yang tergoda oleh keanggunannya. Tentu saja. Ditambah tubuhnya yang terbilang tinggi untuk anak seumur dia, dan badan yang molek serta kepintarannya menari, Lembayung Senja sungguh akan membuat para lelaki tergila-gila memimpikannya. Padahal, waktu itu dia hanyalah seorang anak perempuan yang masih berusia 12 tahun. Lembayung Senja lahir ketika langit senja dihiasi warna lembayung, sehingga ayahnya terinspirasi memberi ia nama demikian. Mungkin karena itu pula Lembayung Senja amat menyukai saat-saat dimana dia dan aku duduk berdua di dermaga, sambil melihat ke langit senja, serta melamunkan angan-angan masa kanak kami. “Suatu hari nanti aku ingin keliling dunia dengan tarian-tarianku. Aku ingin membuai semua penduduk dunia dengan nyanyianku,” ujarnya sambil mengikik. “Aku ingin keliling dunia dengan lukisan-lukisanku, dan mewarnai penduduk dunia dengan cat airku,” ujarku sambil ikut terkikik-kikik. “Kalau begitu, kita keliling dunia bersama-sama saja!” kata Lembayung Senja dengan amat gembira. Aku mengangguk, sambil menatap langit senja yang berwarna lembayung. Angan-angan masa kecil yang sangat indah. Betapa aku rindu ingin kembali ke masa itu. Masa-masa di mana segala sesuatunya berjalan lancar, aman, dan damai. Masa-masa yang penuh dengan gelak tawa kami berdua. Saat itu, walaupun banyak kapal-kapal orang kaya yang merapat di dermaga, tetapi selalu ada tempat bagi kami berdua untuk melepas pandang, sambil duduk-duduk menikmati hembusan angin laut, juga tanpa khawatir apa-apa. Air laut pun masih terlihat jernih, dengan warna birunya yang teduh. Tapi, setelah tujuh tahun aku pindah dari kota ini, semua terlihat berantakan. Kapal-kapal orang kaya yang bersandar di dermaga tinggal sedikit, itu pun tampak kotor pula. Padahal dulu, aku dan Lembayung Senja memimpikan ingin memiliki satu dari sekian banyak kapal-kapal yang kelihatan mewah itu. Sepanjang dermaga kini banyak sampah, kotor sekali, seperti tidak pernah dibersihkan. Tujuh tahun lalu ada seorang bapak tua yang selalu rajin membersihkan dermaga, tiap malam menjelang, ketika aktivitas di dermaga sudah berhenti. Air laut yang dulu jernih, dengan warna biru yang teduh, sekarang kumuh. Sampah bertebaran di mana-mana, airnya berwarna hijau kehitaman. Ingin rasanya aku menangis melihat semua itu. Kiranya waktu sudah mengubah semuanya. Tujuh tahun. Waktu selama tujuh tahun telah mengubah segalanya. Termasuk angan-angan masa kanak kami. Yang terekam dalam ingatanku pada tujuh tahun yang lalu itu adalah, di awal minggu pada pertengahan tahun, ayah menyuruh kami sekeluarga bersiap-siap untuk pindah ke daerah selatan. Kata ayah kondisi kotanya relatif lebih aman di situ. Aku belum mengetahui apa-apa saat itu, jadi menurut saja yang dikatakan ayah. Ibu mengemasi pakaian-pakaianku, sedang aku mengemasi peralatan melukisku. Yang aku tahu saat itu hanyalah, kami akan pergi dan aku akan berpisah dengan Lembayung Senja. Tetapi hanya untuk sementara. Ketika sedang memasukkan kertas-kertas gambarku ke dalam tas, kutemukan gambar Lembayung Senja, dalam momen sedang menari, dengan latar belakang laut biru, dan langit berwarna lembayung. Aku ingat, gambar itu aku lukis dengan menggunakan pinsil warna, seminggu sebelumnya. Ingin sekali aku waktu itu menyerahkannya pada Lembayung Senja. Maka aku lari ke luar kamar. Tapi sesampai di teras ayah memanggilku. “Kamu mau ke mana?” tanya ayah, yang sudah berdiri di ambang pintu, seperti sengaja mengawasi. “Ke dermaga, mau kasih gambar pada Lembayung Senja. Ia pasti menunggu-nungguku di dermaga,” jawabku, sambil terheran-heran kenapa ayah bertanya begitu. Padahal beliau tahu tiap sore aku ke dermaga. Namun dalam pikiranku waktu itu, aku harus segera memberikan gambar itu kepada Lembayung Senja, sekaligus berpamitan, serta berjanji untuk mewujudkan angan-angan masa kanak-kanak kami. Sebab, besok pagi kami sekeluarga akan berangkat menuju daerah selatan. “Jangan ke dermaga! Situasi sangat kacau! Keadaan bahaya. Nanti, biar Ayah yang memberikan gambar itu pada ayah si Lembayung,” ujar ayah. Dia tampak panik. Dan aku serahkan gambar itu pada ayah, kembali terheran-heran. Ada apa sebetulnya? Apa yang sedang terjadi? Mengapa ayah begitu panik? Tidak biasanya beliau panik. Biasanya, ayah sangat tenang dalam menghadapi sesuatu. Malamnya aku tidak bisa tidur, gelisah memikirkan gambar itu. Aku sangsi, apakah ayah akan benar-benar memberikannya pada ayah Lembayung Senja. Apakah ayah Lembayung Senja akan memberikan padanya. Tetapi akhirnya aku terlelap juga. Lalu esok paginya bangun dengan cepat, siap-siap berangkat menuju daerah selatan. Daerah selatan. Baru pertama kali itu aku datang ke daerah ini, yang sama sekali berbeda dengan daerah utara, tempat tinggalku sebelumnya. Tapi satu hal yang sama pada kedua daerah itu, adalah udaranya. Sama-sama bersih. Bila di utara bersih oleh angin laut, di selatan karena hawa pegunungan. Makanya aku cepat merasa betah di daerah selatan. Aku juga berpikir kami akan menetap sementara dan segera kembali ke rumah kami dekat dermaga. Tapi ternyata tidak. Dengan alasan keamanan ayah memutuskan tetap tinggal di daerah selatan, dengan udara pegunungannya yang sejuk itu. Namun betapapun aku selalu teringat saat-saat bersama Lembayung Senja, terutama momen-momen kala di dermaga. Aku juga selalu mengingat langit senja, angan-angan masa kanak kami. Dan, tentu saja, selalu mengingat Lembayung Senja, yang entah di mana dia sekarang. Terakhir kudengar kabar dari seorang kawan sekolahku dulu, yang rumahnya tidak begitu jauh dari rumah Lembayung Senja. Bahwa beberapa hari setelah aku pindah, terjadi kerusuhan etnis di daerah utara. Rumah serta toko-toko dijarah, juga dibakar. Termasuk rumah-toko ayah Lembayung Senja. Ibu dan adiknya ikut terbakar di dalamnya. Ayahnya dipukuli ramai-ramai oleh orang-orang yang tidak jelas datang dari mana. Lebih tragis, nasib Lembayung Senja. Diperkosa orang-orang yang juga tidak jelas datang dari mana. Yang pasti, orang-orang bringas itu berbeda etnis dengan keluarga Lembayung Senja. Namun itu tetap bukan alasan untuk berbuat biadab. Etnis Lembayung Senja juga berbeda denganku. Tetapi dia dan aku tak pernah peduli itu. Juga kulit ataupun agama kami yang tidak sama. Hubungan kami dijalin atas kemanusiaan. Aku benar-benar sedih dan prihatin memikirkan nasib Lembayung Senja, juga keluarganya. Mereka sudah seperti saudaraku. Pernah, suatu hari aku ikut diberi uang oleh ayah Lembayung Senja, karena Lembayung Senja meminta uang kepada ayahnya di hadapanku. Pernah juga aku dibelikan Lembayung Senja kertas gambar. Dia juga yang menemaniku di rumah sakit sewaktu aku terkena tipus. Lembayung Senja dan keluarganya menghormatiku ketika aku berpuasa. Dia bahkan sering mengingatkanku bila waktu shalat tiba. Kebaikan Lembayung Senja serta keluarganya sungguh menyentuh kalbuku. Walau mungkin sebagian orang menganggap hal-hal seperti itu biasa saja, tetapi tidak bagiku. Untukku semua itu teramat istimewa. Masih kutelusuri tempat dan jalan-jalan masa laluku dengan penuh kerinduan. Pada tiap langkah yang kujejakkan di dermaga, aku kenang kembali semua peristiwa yang kualami bersama Lembayung Senja, tujuh tahun yang lalu. Melihat Lembayung Senja menari, dan kemudian kutuangkan dalam kertas gambarku. Menikmati lantunan lagu yang keluar dari bibirnya yang mungil. Memandang warna lembayung di langit senja, bersama-sama. Lalu tertawa, bersama-sama pula. Ah, ya, aku ingat kini. Kami pernah mengukir namaku dan nama Lembayung Senja di pasak kayu sebelah barat dermaga. Aku berlari ke sana, mencari-cari ukiran itu. Ah, ini dia… Lembayung Senja - Penari Banyu Biru - Pelukis Yang aku ingat, ketika itu, kami mengukir nama serta cita-cita kami di pasak, supaya kami kelak bisa ke “Barat”, alias ke luar negeri. Keliling dunia, bersama-sama, dengan keahlian kami --seperti yang kami angan-angankan. Tulisan di atas kayu itu masih jelas keberadaannya. Sedangkan seseorang yang namanya tertulis pada kayu itu, kini tidak jelas lagi. Apakah dia masih hidup, ataukah sudah tiada? Aku tidak tahu. Tetapi yang pasti, kebaikannya masih akan terus hidup, kurindukan dan kuingat, seperti warna lembayung pada senja hari --bila cuaca terang dan baik. Jakarta, 9 November 2005