Ia Seniman. Ia Bapakku. "kudedikasikan untuk Parmin Ras...walaupun aku tak mau jadi bayangmu, tapi perjuanganmu selalu mengilhamiku, Pa..." Ia seniman. Ia Bapakku. Bapakku adalah seorang seniman yang hidup, berjalan, berlari, dan terjatuh karena seni. Hanya satu yang tidak, ia tidak lumpuh karena seni. Aku ingat betul, semenjak kecil selalu ditanamkannya pengertian bahwa aku, adik dan kakakku harus sepenuhnya sadar kalau kami adalah anak seorang seniman. Tetapi sepertinya hanya seorang di rumah kami yang benar-benar memahami bahwa ia hidup dengan seorang seniman. Sampai-sampai ia menyerah pada satu-satunya cara untuk menguak tabir kekasih hidupnya, adalah dengan menguak seni itu sendiri. Ia Ibuku. Walaupun sejauh ini aku belum terlalu percaya bahwa ibuku benar-benar mengerti, siapakah seniman terkasihnya itu sebenarnya. Tak jauh beda dengan aku, adikku, bahkan kakak perempuanku yang kini telah menari-nari menjadi Bunda. Mungkin hanya sederhana, mungkin hanya cinta, alat transportasi yang membuat bongkah-bongkah adrenalin bertemu sempurna. Bongkahan hati tersebut telah menimbulkan getaran-getaran dahsyat, bernama kerinduan yang saling menyatu. Cinta telah membuat kerinduan keduanya sepakat satu tuju di stasiun kecil bernama perkawinan. Kereta cinta mereka indah, walaupun terkadang ada saja penumpang asing layaknya tamu tak diundang masuk dan ikut menumpang, lalu meninggalkan sampah! Kereta itu tetap melaju, karena rindu terlalu dangkal untuk diukur oleh timbunan hiperbolis dungu. Pernah pada suatu sore aku mengajukan satu pertanyaan kepada bapakku, waktu itu aku berumur sekitar lima belas atau enam belas tahun. “pak, seni yang bagus itu yang seperti apa?” tanyaku “seni yang mampu berjalan vertikal…” jawabnya datar “maksud bapak, bersifat ke-Tuhan-an?” aku semakin ingin tahu “seperti panjat pinang” ujarnya tenang, seolah memancing rasa penasaranku yang hinggap di ubun-ubun “panjat pinang ‘kan berlomba asal menang, sedangkan kesenian? Pasti bukan soal kalah menan!?” penasaranku semakin memuncak, hampir tak terkendali “pada akhirnya, kamulah yang berada paling atas dan mengambil hadiah, yang lain adalah makna dari setiap peristiwa….”. Pembicaraan sore itu telah berhasil membuatku puyeng, bingung, murung, bahkan sedikit menorah rasa kapok untuk bertanya lagi kepada bapakku. Aku bertanya tentang kesenian, sedangkan bapakku menjawab tentang kehidupan. Suatu ketika, saat adik laki-lakiku duduk di bangku kelas 2 SMA dan aku setingkat di atasnya, kami menghadapi satu masalah; SPP kami nunggak selama 4 bulan sedangkan surat peringatan dari pihak sekolah sudah datang tiga kali berturut-turut, untuk adikku dua dan sisanya untukku. Kami tidak diperbolehkan mengikuti ujian akhir caturwulan bahkan terancam skors! Ibuku sempat berkata; “pak, apa bapak tidak berpikir untuk mencari jalan keluar yang lain, sebab…” belum selesai ibuku bicara, bapakku memotong; “tidak, percayalah kita ini kaya, karena kita yakin masalah ini pasti akan selesai, terkadang kekayaan tidak hanya bisa dihitung dengan uang, SPP anak-anak pasti akan terbayarkan, dan kalau masalah ini selesai, esok hari kita pasti akan menghadapi masalah yang serupa atau yang lebih berbobot….kalau hanya kekayaanlah yang dapat menjawab, maka kita tidak perlu khawatir”. Aku tidak habis pikir apakah suatu masalah mempunyai bobot yang dapat diperhitungkan, jika ya, maka mana yang lebih bagus; masalah yang berbobot ringan atau yang berbobot berat? Esok paginya bapakku pergi ke luar kota, ia pergi untuk mengajar tari murid-murid SLB ( Sekolah Luar Biasa ) di kota kecil sebelah kota kami. Dalam waktu yang bersamaan, ia juga memberi workshop tari untuk sekumpulan remaja vihara di kota yang sama. Tiga hari kemudian bapakku datang dengan membawa uang, yang tidak banyak, namun cukup untuk melunasi SPP-ku dan adikku serta membelikan sebuah daster untuk ibuku. Di luar rumah kami, tepatnya di sebuah gedung kesenian, tampak orang-orang ramai memasuki sebuah gedung pertunjukan seni. Mereka beramai-ramai menonton pagelaran tari-tarian. Tetapi sebelum itu tak lupa mereka membayar tiket kurang lebih sekitar Rp.10.000,-. Setelah mendapat tiket, barulah mereka boleh masuk dan menonton pertunjukan. Di dalam gedung yang telah padat penonton, gadis-gadis cantik berpakaian merah kuning hijau tampak menari-nari indah. Gadis-gadis itu berpakaian tipis panjang dengan lengan dan pusar yang terbuka, mereka melenggak-lenggok diiringi musik yang sesuai irama, gadis-gadis itu tersenyum manis, gerakan mereka sama dan teratur, indah dan gemulai……semua penonton terhibur. Ya, hiburan yang tanpa berpikir…..para penonton itu telah mendapatkan hiburan tanpa harus berpikir. Untuk sementara mereka melupakan masalah-masalah di sekitar mereka, mereka melupakan lumpur yang semakin menggunung dan asap beracun yang memakan satu persatu masa depan anak-anak mereka, mereka melupakan bahwa mereka adalah korban zaman. Seperti Tsunami yang menghapus dan menyeret pemikiran, ideologi, ajaran, serta moral mereka ke hamparan laut luas tak berujung. Kepekaan mereka pun hilang seiring irama musik yang menghentak dan gerakan lembut dan menggoda para gadis penari. Adakah makna yang didapat? Persetan dengan makna! mungkin mereka sendiri telah gerah mencari makna dari setiap peristiwa yang mereka alami sehari-hari, mereka telah bosan mengais-ngais makna yang tertinggal hingga akhirnya mereka menyerah, lelah. “pada akhirnya, kamulah yang berada paling atas dan mengambil hadiah, yang lainnya adalah makna dari setiap peristiwa….” Kata-kata bapakku seakan-akan terus terngiang di kepalaku, aku ingin mengambil hadiah itu…aku ingin menjadi pemenang panjat pinang dan mengambil hadiah. Ingin…aku ingin. Aku tidak ingin terhibur hanya sementara, tidak ingin senang cuma sebentar, aku tidak ingin berada di bawah dan mengalah. Hari ini cukup untuk mimpiku Terbangun walau masih sangat mengantuk Adalah realita, musuh yang harus Kuajak berteman saat ini. Bumi sudah tua, bukan? Sudah lelah, mungkin. Untung saja aku masih bisa berdiri. Untung saja kita masih bisa berdiri, Saat ini. Angin sepoi menggiring hidupku sampai di tahun ke dua puluh dua dalam perjalananku. Kamar berukuran 3 x 2 meter yang kusewa sehari-hari jadi saksi betapa banyak dalam sehari aku tenggelam diam. Otak dapat dengan sangat pintar menipuku, memanipulasi, dan membuatku tersedu…sendu, cuma karena secuil memori yang dialirkan syaraf-syarafnya. Bagaimanapun, syaraf-syaraf otak manusia berjumlah banyak! Aku bangkit dari kasur yang berada di bawah dekat pintu kamar. Mengambil ballpoint seraya memaksa koloni steroid untuk kembali bekerja. Ayo…ayo…otak kecilku…bekerjalah! Fungsikan sepiring nasi putih dan telor ceplok berlumuran kecap yang telah kulahap tadi pagi! Karena aku tidak hidup dalam kotak kecil bewarna yang bernama televisi, yang setelah hidupku ditayangkan dan aku berakting dengan muka serius, lalu aku bebas terbahak-bahak usai satu episode berlalu! Aku hidup di dunia nyata….di mana banjir Lumpur dan pergeseran lempeng bumi yang mengakibatkan Tsunami benar-benar ada! Di mana orang miskin dikasih makan cacing, dan gedung bertingkat berperawakan semakin seram. Di mana kertas-kertas berangka menjanjikan syurga dunia, dan syaraf malu mati terputus terkena kejang amarah dari botol mimpi berjuta-juta. Aku ingin menjadi pemenang dalam setiap panjat pinang yang kutemui. Aku masih boleh berharap! Sebab harap hanya bisa sekarat, tak mungkin ia mati! Aku anak Bapakku, seorang seniman yang telah berhasil menjauhkan diri dari kotoran air seni hasil iuran dari manusia-manusia tak bernurani. Ia hidup bersama keseniannya, dan mungkin hanya maknalah harta-warisnya. Sekarang Bapakku masih hidup. Rukun Agawe Santosa bersama Ibuku, sosok tegar yang selalu membuat amarah pudar. Ia Bapakku. Ia Seniman. Aku tak putus harap. Harap tak pernah mati! Surabaya, Akhir September 2007