CATATAN SEORANG DEMONSTRAN ""Aduh,wajahku kebakar gara-gara panas, tapi, ini pemgalaman demoku yang kedua!! SERU!!"" Senin, 5 Mei 2008, hari cukup terik dan berdebu. Mobil berderet berbaris seperti antrian panjang karena macet. Jalan Leuwi Gajah Cimahi mendadak ramai siang itu. Suara-suara yang dibesarkan di pengeras suara begitu nyaring mengobarkan semangat di hari yang terik. Aku memutuskan untuk ikut turun ke jalan, menjadi satu dengan para pejalan kaki yang berjumlah ribuan. Semua berjalan, bergerak perlahan menuju kantor walikota, menuntut hak-hak kaum yang terpinggirkan. ”Ayo maju! Ayo maju!” Seseorang yang berdiri di atas mobil bak terbuka yang memimpin rombongan, berteriak dengan pengeras suara dengan penuh semangat memanaskan suasana. Wanita-wanita berseragam berjalan beriringan sepanjang jalan sambil meneriakan kata-kata yang sama seperti yang dikatakan pria di atas mobil bak terbuka tadi. Wanita-wanita itu sebagian memakai payung untuk menahan sengatan matahari, sebagian malah menantang sang raja siang. Para pria memilih menaiki sepeda motor dan menjalankannya di samping kiri-kanan para wanita, meskipun tak sedikit yang juga bergabung dengan para wanita untuk berjalan sepanjang jalan. ”Ini adalah sebuah demonstrasi! Sebuah perjuangan! Hidup perjuangan!” yel-yel diteriakan dan disambut antusias oleh semua yang ikut turun ke jalan. Siang itu begitu panas, berdebu sekaligus riuh. Aku berada diantara mereka. Berbaur dan menjadi satu. Ikut bergerak berjalan. Peluh mengucur dengan deras. di dahiku, di leherku, di punggung, hampir di seluruh tubuh. Debu-debu kering yang beterbangan membuat perih mataku dan sesekali menggelitik hidungku. Bau keringat bercampur dengan bau minyak wangi, bau asap dari deru motor dan mobil di samping kiri-kanan kami menguar mengudara bercampur dengan bau badan, bau ketek bahkan bau mulut dan bau-bau lainnya. Panasnya terik matahari terasa membakar. Aku tak membawa payung hari itu, jadi terpaksa aku menantang sang matahari yang perlahan mulai membakar kulit mukaku, rasanya panas dan perih, tapi riuhnya jalanan membuatku lupa semuanya. Aku hanya ingin segera sampai, jadi kupercepat jalanku. Aku meliuk diantara tubuh, berjalan pada celah diantara dua wanita pekerja yang ikut demonstrasi. Aku berjalan cepat dengan lentur. ”Kami adalah buruh! Perjuangan ini untuk kaum buruh!! Hidup BURUH!!!” Dan riuhnya dua kali lipat dari yang sebelumnya. Hari buruh internasional di Cimahi, kota kecil di Barat Bandung diperingati hari ini. Tepatnya empat hari setelah May Day diperingati. Suasananya panas, berdebu sekaligus riuh. Semua pekerja turun ke jalan menuntut pembagian hak yang adil bagi mereka—bagi kaum penggerak perekonomian yang seringnya terpinggirkan. Dua tuntutan mereka: Hilangkan sistem kerja pemborongan (outsourcing) dan sistem kerja kontrak yang sama sekali tidak memihak pada kaum pekerja. Hilangkan kedua sistem kerja yang sebenarnya membunuh kaum pekerja perlahan-lahan, yang memberi mereka KETIDAKPASTIAN & KETIDAK-AMANAN. Aku menutup wajahku dengan sweater hitam sehingga hanya tersisa mataku saja yang terbuka untuk melihat jalanan. Aku masih berjalan diantara mereka. Namun kali ini langkahku tertahan. Sebuah motor yang hendak berbelok menghalang di depan. Aku menunggu sebentar dan memandang sekitar. Sebuah senyuman miliK wanita gemuk di sampingku menyapa. Aku membalasnya. Sepeda motor itu sudah berbelok. Aku kembali berjalan, begitupun si wanita gemuk pemilik senyum berlesung pipit itu. ”Panas, ya?” Katanya, mencoba membuka pembicaraan. Aku mengangguk cepat, mengiyakan sambil menyunggingkan senyuman lebar yang ramah padanya. ”Dari mana?” Tanyanya sambil menjajaki langkahku yang cepat. Kakinya yang bulat dan pendek agak tertatih-tatih mengikuti langkahku. ”Dari rumah” Jawabku jujur. ”Kerja dimana?” dia membenarkan maksud pertanyaannya. ”Dari Nam-nam?” Tebaknya sebelum aku sempat menjawab. ”Oh, bukan, saya mau berangkat kuliah, tapi terjebak macet, jadi ikut jalan sampai depan” Kataku jujur. ”Oh, kirain ikutan demo buruh.” Katanya terdengar kecewa. Aku hanya menyunggingkan senyuman karena entah kalimat apa yang tepat untuk menjawab kekecewaannya. ”Tapi enggak apa-apa,” Katanya, ”hargai buruh, ya?” Aku menggangguk. ”Kami sedang berjuang.” Tambahnya. Dan aku mengangguk lagi. Dan ’demonstrasiku’ berakhir ketika aku bertemu tukang ojek yang bersedia mengantarku sampai kampus dengan ongkos sepuluh ribu, karena dalam sepuluh menit kelas akan dimulai. ”Harga spesial hari buruh, Neng!” Katanya. Dan aku hanya bisa nyengir. HIDUP PARA PEKERJA!