Malam MALAM ini … Begitu banyak kata mula itu mengawali tulisan atau puisi saya. Malam, ya malam ini. Malam yang afdol untuk istirahat dan beribadah. Siang bekerja, malam istirahat dan beribadah. Sungguh nyaman. Rasulullah mencontohkan, beramal di waktu malam, saat manusia lain tidur nyenyak. Memanjatkan doa-doa, meluluhkan jiwa ‘mendekat’ Sang Khalik. Malam, ketika gangguan siang tak mengada. Malam-malam ibadah. Malam-malam indah. Rasulullah bukan bermaksud melarang bekerja di malam hari. Bekerja substansinya beramal. Tarikan kaum Calvinis, sebagaimana ditulis Weber, Prothestan Ethic … dinotasi dengan calling; panggilan untuk bekerja bukanlah hal aneh dalam Islam. Bekerja adalah amal ibadah. Memulai dengan Bismillah mengakhiri dengan Alhamdulillah. Prinsip dasarnya, istirahat jangan diabai, ibadah jangan dilalai, bekerja yang beribadah jangan dikurangi. Bisa saja, aktivitas membaca dan menulis, dikategori remeh-temeh; membuang-buang waktu. Bisa pula sebaliknya, sebagai syiar, sebagai dakwah. Tergantung dari dan bagaimana menatapnya. Malam ini … ketika pikiran dipantik, membaca dan atau menulis —seorang bloger mengatakan ‘mengetik’, benar saja, tapi ini soal taken for granted— mungkin belum pantas sebagai ladang ibadah. Tapi, bagaimana melawan suara diri, setidaknya niat mengarahkan. Menulis sebagai ladang amal. Ya Allah ya Rabb. Kalaulah hamba-Mu terpongah, kalaulah niat belum sebanding pemahaman dengan lakuan, maaf dipinta ampun diajukan. Malam ini … getaran-getaran tangan di keyboard panggil-panggil seruanMu. Jadikanlah ladang ibadah, bentangkan tali-tali asih agar menyambung makna dan kebelajaran. Agar, hikmah-hikmah ditulis. Agar, manfaat dipetik. Malam ini, ya Rabb. Sinar memancar menagih hati, menulis, menulis, dan terus menulis. Bagaimana menurut Sampeyan? Banjarbaru, 6 Maret 2008.