MALAS MALAS. … Begitu banyak kata malas diucapkan atau diketik sebagai alasan ketidakmampuan. Bagi pemalas, dijadikan ‘nujum’ pembenaran. Malas itu penyakit diri, yang sebenanya, tidak ada kaitannya dengan orang lain. Kenapa alasan malas diumbar? Malas urusan kejiwaan. Bisa jadi, ‘persiapan’ menuju sakit jiwa. Pangkal malas di lubuk jiwa. Ada kehendak sangat kuat, tetapi tidak mau belajar, tidak mau membenahi kemampuan. Kehendak menggebu-ngebu, tidak dibarengi persiapan. Akibatnya, terjadi pertentangan dalam diri. Antara keinginan, dalam hal ini menulis, dengan kemampuan bak siang dan malam. Hal itu mendenda diri. Malas dijadikan pecundang. Pertentangan diciptakan untuk merusak diri. Sadar atau tidak, disengaja atau bukan. Solusinya sederhana. Kalau tidak mau belajar, tidak mau membenahi kemampuan, ya sudah. Bunuh kehendak. Pasti jiwa tertenang. Malas tidak berguna lagi, tidak manfaat dijadikan pembenaran tidak mau dan tidak mampu. Sederhana. Bunuh keinginan. Selesai. Seorang yang menamakan dirinya Jenderan Qi megomentari tulisan Menikam Malas: Seorang guru menulis menasehati muridnya: “Menulislah terus. Jangan sampai engkau putus asa. Kalaupun engkau putus asa, maka menulislah dalam keputusasaan…” Kalau malas menulis, membacalah. Masih malas, diskusi. Masih malas, bermainlah ke rumah teman. Masih malas, tidurlah, siapa tahu dapat ide dalam mimpi. Tapi begitu selesai –dan otak segar lagi– menulislah. Kalau masih malas juga, tulislah kemalasanmu sebagai tema. Atau jadikan si malas-mu sebagai tokoh antagonis yang kau tuangkan dalam cerpenmu. Atau tulislah kata-kata makian sepanjang-panjangnya kepada kemalasanmu. Dan, Kalau masih saja malas, semoga engkau segera malas bernapas… Terima kasih Jenderal Qi. Bagaimana menurut Sampeyan? Banjarbaru, 7 Maret 2008.